Jumat, 08 Juli 2011

Mading bulan juli


Debat Kusir Tentang Ayam

Melihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang bisa menjawab perta­nyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya huku­man yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas.

Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, ja­waban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.

Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta per­tama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya,

"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" "Telur." jawab peserta pertama.

"Apa alasannya?" tanya Baginda.

"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." kata peserta pertama menjelaskan.

"Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda. .

Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. la tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara.

Kemudian peserta kedua maju. la berkata,

"Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan."

"Bagaimana bisa bersamaan?" tanya Baginda.

"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila teiur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami." kata peserta kedua dengan mantap.

"Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.

Lalu giliran peserta ketiga. la berkata;

"Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur."

"Sebutkan alasanmu." kata Baginda.

"Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta ketiga meyakinkan.

"Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada." kata Baginda memancing.

"Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri." peserta ketiga berusaha menjelaskan.

"Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?"

Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun dimasukkan ke penjara.

Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, "Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam."

"Coba terangkan secara logis." kata Baginda ingin tahu "Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam." kata Abu Nawas singkat.

Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Bagin­da tidak nyanggah alasan Abu Nawas.

oo000oo



Telaah UtamaItmam  al-Shof fi al-Sholat
[ Menyempurnakan Shof Ketika Sholat ]

Dalam kitab fatawanya[1], al-Imam Jalaluddin bin Abdurrahman  bin Abu Bakar al-Suyuthi t  pernah ditanya tentang seseorang yang tidak menyempurnakan shofnya (barisan sholat) dan membuat shof lagi dibelakang, sebelum shof didepannya sempurna (penuh). Beliau menjawab bahwa tindakan semacam itu hukumnya makruh yang dapat menyebabkan hilangnya fadhilah jamaah. Konklusi hukum semacam itu dapat ditinjau dari dua aspek. Pertama, perbuatan itu (membuat shof sebelum shof yang didepan penuh) adalah makruh. Kedua, hukum makruh dalam jamaah dapat menggugurkan fadhilah jamaah. Pada aspek yang pertama, para ulama telah menjelaskan tentang masalah itu. Dalam masalah ini mereka berkata (berkomentar) tentang kemakruhan melangkahkan kaki melewati orang-orang yang sedang sholat, kecuali jika memang didepannya ada celah (tempat kosong). Hal ini menunjukkan ketika didepan seseorang ada celah yang kosong maka disunahkan baginya untuk melangkahkan kaki guna menyempurnakan (memenuhi) shof kosong yang ada didepannya dan makruh apabila hal itu ditinggalkan. Karena membuat shof sebelum shof yang didepan sempurna adalah makruh. Hal ini dapat dilihat dari hadits Rasulullah r:
أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ.
“Sempurnakanlah shof yang ada didepan, lalu berikutnya, kemudian setelah tidak ada yang kosong (sudah penuh ), maka buatlah shof dibelakangnya .”[2]
Al-Imam al-Nawawi t, dalam kitabnya ”Majmu’ Sharh al-Muhadzdzab”, pada bab jamaah  berkata: ”Para  Ashhab[3] kami dan yang lainnya telah sepakat tentang kesunahan memenuhi (menyempurnakan) shof yang kosong dan menyempurnakan shof yang pertama, lalu berikutnya (belakangnya) dan berikut seterusnya.  Seseorang tidak boleh membuat shof apabila shof sebelumnya belum sempurna (penuh).” Sedangkan meninggalkan sunah adalah makruh. Apabila ada yang mengatakan bahwa meninggalkan sunah adalah khilaful aula, maka menurut Imam al-Suyuthi t pertanyaan itu dapat ditanggapi dengan dua jawaban. Pertama, para ulama mutaqoddimin [4] tidak membedakan kedua  istilah tersebut (makruh dan khilaful aula), kecuali Imam al-Haromain t[5] dan para ulama yang mengikutinya. Kedua, para ulama yang membedakan kedua istilah tersebut (makruh dan khilaful aula) mengatakan, bahwa khilaful aula adalah perkara-perkara yang dalam pelarangannya tidak terdapat dalil khusus (hanya diambil dari keumuman dalil), sedangkan makruh adalah perkara-perkara yang dalam pelarangannya terdapat dalil khusus. Dan kita tahu bahwa dalam masalah ini (menyempurnakan shof),  didalamnya terdapat dalil-dalil khusus yang memerintahkan untuk mengerjakannya. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Hakim y dengan sanad yang shohih dari Ibnu Umar t, bahwa Nabi r bersabda :
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ.
Dirikanlah shof, sesungguhnya kamu semua berbaris dengan barisan para malaikat, sejajarkanlah bahu-bahumu, penuhilah celah (shof yang kosong), berilah kesempatan pada temanmu ketika ia ingin memenuhi shof dan janganlah engkau tinggalkan lubang (celah) untuk syetan. Barang siapa menyambung shof maka Allah Y akan menyambungnya (dengan kebaikan, keutamaan dan pahala yang melimpah) dan barang siapa yang memutus shof maka Allah Y akan memutusnya (dari kebaikan, keutamaan dan pahala yang melimpah).[6]
Dalam hal ini Imam Ibnu Baththol t berkomentar: ”Meluruskan shof  merupakan perkara yang sunah, dimana pelakunya berhak untuk dipuji, dan bagi yang meninggalkan berhak mendapat celaan.” Juga hadits Nabi r:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ.
Luruskanlah shof (barisan sholat )mu, karena meluruskan shof termasuk mendirikan sholat.”[7]
Berdasarkan hadits ini mayoritas ulama menjadikannya sebagai sumber hukum tentang kesunahan meluruskan shof. Bahkan Imam Muhammad Ali bin Said bin Hazm t memberikan hukum wajib untuk meluruskan shof, karena mendirikan sholat itu hukumnya wajib, maka segala sesuatu yang termasuk dalam perkara wajib hukumnya juga wajib.
Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menyempurnakan dan meluruskan shof sangat banyak sekali, diantaranya adalah:
1.      Hadits riwayat at-Thabrani t dalam al-Mu’jam al-Kabir, dari Jabir t berkata, Rasulullah r bersabda:
إِنَّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ إِقَامَةَ الصَّفِّ.
“Sesungguhnya termasuk sempurnanya sholat adalah mendirikan (menyempurnakan shof ).”
2.      Hadits riwayat Ahmad t dalam Musnad-nya dengan sanad hasan dari Abu Umamah t, Rasulullah r bersabda:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ وَسُدُّوا الْخَلَلَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ بَيْنَكُمْ.
Luruskanlah shof (barisan sholat)mu ,dan penuhilah celah (shof yang kosong), karena seseungguhnya syetan akan masuk pada shof yang kosong diantaramu .”
3.  Hadits riwayat al-Bazzar t dengan sanad hasan dari Abu Jahifah t, Rasulullah r bersabda:
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً فِي الصَّفِّ غُفِرَ لَهُ .
“Barang siapa memenuhi kekosongan (celah) pada shof , maka dia akan diampuni (dosanya ).”

4.      Hadits riwayat al-Thabrani t dari Aisyah, Rasulullah r bersabda :
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً فِي صَفٍّ رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَبَنىَ لَهُ بَيْـتًا فِي الْجَـنَّةِ.
Barang siapa memenuhi kekosongan (celah) pada shof, maka Allah akan mengangkat derajatnya dan membangun rumah untuknya di surga.”
           Selain hal-hal diatas, perkara-perkara yang dapat menghilangkan fadlilah jamaah diantaranya adalah:
@ Melakukan gerakan sholat bersamaan dengan imam. Imam al-Rafi’i t berkata: ”Shohib al- Tadzhib (pemilik kitab tadzhib) dan ulama yang lain menyebutkan bahwa melakukan gerakan- gerakan dalam sholat bersamaan dengan imam adalah makruh, dan hal itu dapat menghilangkan fadhilah jamaah.”  Pendapat senada juga diungkapkan oleh al-Imam al-Nawawi t dalam Raudh al-Tholibin dan Syarh al-Muhadzdzab dan juga al-Imam Ibnu al-Rif’ah t dalam al-Kifayah.
@ Mendahului imam dalam gerakan sholat.
@ Memisahkan diri dari shof, bahkan menurut Imam Ahmad bin Hambal t, perbuatan tersebut dapat membatalkan sholat. Dari sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa menyambung dan menyempurnakan shof (tidak memisahkan diri) merupakan hal yang sunah, sebagaimana dalam qaidah Ushul Fiqh:
اَلْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ.
“Keluar dari permasalahan khilafiyah adalah sunah.”

Takhtim:
Al-Imam Sahal al-Tastari t berpesan: ”Jauhilah Ahli Bid’ah[8], larilah dari mereka sebagaimana engkau berlari ketika melihat macan. Takutlah kamu terhadap majlis orang-orang yang melupakan Allah Y dan ahli bid’ah yang meninggalkan sunah-sunah Rasulullah r, diantaranya yang paling besar adalah:
@ Tidak lurus dalam shof (barisan) sholat. Shof (barisan sholat) mereka bengkok karena banyak celah dan posisi dada dan kaki mereka tidak lurus (ada yang maju dan mundur).
@ Mereka menertawakan terhadap hamba-hamba Allah yang sholih, menertawakan orang-orang yang berdzikir dan menertawakan terhadap hamba-hamba Allah yang melakukan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.  
@ Mereka meninggalkan dzikir dan membaca Al-Qur’an. Sedangkan mereka sibuk dengan perbedaan yang tidak berdasar, ghibah dan membicarakan hal-hal tidak bermanfaat.[9]
Setelah kita mengetahui dan merenungi nasihat dari al-Imam Sahal al-Tastari t, lalu apakah kita termasuk Ahli bid’ah yang dicela ?, karena ketika sholat, shof (barisan) kita bengkok (tidak lurus), ketika didepan ada yang kosong kita tidak mau maju dan memenuhinya ??... Padahal kita mengaku bahwa kita adalah orang-orang Ahlus Sunah Wal Jamaah yang senantiasa mengamalkan dan menjunjung tinggi sunah-sunah Rasulullah r.
***Wallahu a’lam bishshowab***


[1]  Lihat Al hawi lil Fatawy oleh: Al-Imam Jalaludin bin Abdurrahman  bin Abu Bakar al-Suyuthi .
[2]  Sunan Abi Dawud, No. 574.
[3]  Merupakan lafadz jama’ yang berarti mufrod. Menurut bahasa memberi pengertian sahabat karib. Sedangkan menurut istilah adalah para ulama yang mengikuti pendapatnya Imam Mujtahid serta mengakui terhadap pendapat Imam Mujtahid sebagai yang mempunyai otoritas penuh. Disebut Ashhab karena diantara mereka mempunyai persamaan pendapat serta ada ikatan batin yang erat (Tsamarotul Hajiniyah ).
[4] Istilah ini identik dengan Al Ashhab. Yang dimaksud adalah para ulama yang hidup pada abad IV H. Ketika disebut Al Mutaqoddimin pada umumnya yang dimaksud adalah para ulama yang mempunyai kemampuan menggali hukum melalui kaidah-kaidah nash Al Mujtahid  seperti Al Gozali dan Al Qoffal.  Namun ada juga  Ashhab yang  melakukan ijtihad tanpa melalui kaidah dan nash Al Mujtahid seperti  Al Muzani dan Ibnu Tsaur. Untuk pendapat tersebut tidak dianggap sebagai wajhun minal wujuh  (versi pendapat yang digali dari Imam Mujtahid).
[5] Nama beliau adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini (419-478 H).
[6] Musnad Imam Ahmad, no. 5466 dan Sunan Abi Dawud, no. 570.
[7] Shohih Al Imam Al Bukhori, no. 681.
[8]  Bid’ah secara etimologi (lughot/bahasa) adalah: suatu amal (pekerjaan) yang tidak terdapat di zaman Rasulullah SAW. Bid’ah ini dibagi menjadi lima, yaitu: wajib, haram, sunah, makruh dan mubah .(Lihat Qowa’idul Ahkam” ,oleh imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam :juz 2,Hal.133). Sedangkan pengertian bid’ah secara terminologi (syarat /istilah ) adalah : suatu amalan (perbuatan) yang bertentangan dengan pokok (ushul) syariat dan tidak sesuai dengan sunah. Pengertian inilah yang dimaksud pada hadits:كل بد عة ضلالة .( Lihat ”Itqon al-Shon’ah fii Tahqiqi Ma’na al-Bid’ah, oleh Imam al-Hafidz Abu Fadhal Abdullah bin al-Shidiq: hal 4.)
[9] Lihat kitab Majalis al-Tsaniyah Syarah al-Arbain al-Nawawiyah.


Pesan Bagi Para Hakim

Siapakah Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini— sufi, tokoh su­per lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab", la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.

Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sul­tan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo'akannya, maka Sul­tan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun... demi mendengar rencana sang Sultan.

Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari ba­tang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapak­nya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia me­ngajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir utusan Sultan.

"Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya."jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

"Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."

"Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat ke­lakuan Abu Nawas.

"Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sul­tan?" kata wazir

"Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.

"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.

"Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada raja­mu." sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.

Dengan geram Sultan berkata,"Kalian bodoh se­mua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa."

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit ista­na. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.

"Abu Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.

"Ya Baginda, tahukah Anda....?"

"Apa Abu Nawas...?"

"Baginda... terasi itu asalnya dari udang !"

"Kurang ajar kau menghinaku Nawas !"

"Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. "Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

"Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?"

"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?"

"lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"

"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"

"Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima ha­diah dari Baginda."

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.

"Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang teiah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda."

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya."Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"

Berkata Abu Nawas,"Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pu­kulan itu."

"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?" tanya Baginda.

"Tuanku,"kata Abu Nawas."Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."

"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.

"Benar Tuanku,"jawab penunggu pintu gerbang.

"Tapi        hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."
"Hahahahaha        Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!"sahut Baginda."Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!"

"Ampun Tuanku,"sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.

Abu Nawas berkata,"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok ham­ba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."

Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."

Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.

Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan.

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengada­kan rapat dengan para menterinya.

"Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?"

Wazir atau perdana meneteri berkata,"Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama.

"Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."

"Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja."

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi ma­ka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.
"Alhamdulillah        aku telah terlepas dari balak yang mengerikan. Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja."

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:

Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggii Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.

Berkata bapaknya,"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku."

Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

"Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"

"Benar Bapak!" 
"Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini."

"Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"

"Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"

"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."

Berkata Syeikh Maulana "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi."

Nan, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

oo000oo



Strategi Maling

Tanpa pikir panjang Abu Nawas memutuskan untuk menjual keledai kesayangannya. Keledai itu merupakan kendaraan Abu Nawas satu-satunya. Sebenarnya ia tidak tega untuk menjualnya. Tetapi keluarga Abu Nawas amat membutuhkan uang. Dan istrinya setuju.

Keesokan harinya Abu Nawas membawa keledai ke pasar. Abu Nawas tidak tahu kalau ada sekelompok pen­curi yang terdiri dari empat orang telah mengetahui keadaan dan rencana Abu Nawas. Mereka sepakat akan memperdaya Abu Nawas. Rencana pun mulai mereka susun.

Ketika Abu Nawas beristirahat di bawah pohon, salah seorang mendekat dan berkata,

"Apakah engkau akan menjual kambingmu?"

Tentu saja Abu Nawas terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba.

"Ini bukan kambing." kata Abu Nawas.

"Kalau bukan kambing, lalu apa?" tanya pencuri itu selanjutnya.

"Keledai." kata Abu Nawas.

"Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke pasar dan dan tanyakan pada mereka." kata komplotan pen­curi itu sambil berlalu. Abu Nawas tidak terpengaruh. Kemudian ia meneruskan perjalanannya.

Ketika Abu Nawas sedang menunggang keledai, pencuri kedua menghampirinya dan berkata."Mengapa kau menunggang kambing."

"Ini bukan kambing tapi keledai."

"Kalau itu keledai aku tidak bertanya seperti itu, dasar orang aneh. Kambing kok dikatakan keledai."

"Kalau ini kambing' aku tidak akan menungganginya." jawab Abu Nawas tanpa ragu.

"Kalau engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang di sana." kata pencuri kedua sambil berlalu.

Abu Nawas belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar.

Pencuri ketiga datang menghampiri Abu Nawas,"Hai Abu Nawas akan kau bawa ke mana kambing itu?"

Kali ini Abu Nawas tidak segera menjawab.la mulai ragu, sudah tiga orang mengatakan kalau hewan yang dibawanya adalah kambing.

Pencuri ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan. la makin merecoki otak Abu Nawas, "Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai nyatanya itu adalah kambing, kambing ....... kambiiiiiing        !"

Abu Nawas berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon. Pencuri keempat melaksanakan strategi busuknya. la duduk di samping Abu Nawas dan mengajak tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.

"Ahaa, bagus sekali kambingmu ini...!" pencuri keempat membuka percakapan.

"Kau juga yakin ini kambing?" tanya Abu Nawas.

"Lho? ya jelas sekali kalau hewan ini adalah kam­bing. Kalau boleh aku ingin membelinya."

"Berapa kau mau membayarnya?"

"Tiga dirham!"

Abu Nawas setuju. Setelah menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu Nawas langsung pulang. Setiba di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya.

"Jadi keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan bahwa keledai itu kambing?" Abu Nawas tidak bisa menjawab. la hanya mendengarkan ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol. Kini ia baru menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya.

Abu Nawas merencanakan sesuatu. la pergi ke hutan mencari sebatang kayu untuk dijadikan sebuah tong­kat yang nantinya bisa menghasilkan uang.. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan lancar. Hampir semua orang membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh para pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa membayar tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya. Mereka berpikir kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Akhirnya mereka mendekati Abu Nawas dan berkata, "Apakah tongkatmu akan dijual?"

"Tidak." jawab Abu Nawas dengan cuek.

"Tetapi kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi." kata mereka.

"Berapa?" kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik.

"Seratus dinar uang emas." kata mereka tanpa ragu-ragu.

"Tetapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki." kata Abu Nawas sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.

"Dengan uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak." Kata mereka makin penasaran.

Abu Nawas diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali.

"Baiklah kalau begitu." kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan tongkatnya.

Setelah menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai. Tentu saja pemilik kedai marah.

"Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?" "Bukankah Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?" tanya para pencuri itu.

"Benar. Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang kepadaku sebelum makan di sini!"

"Gila! Temyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu Nawas. Kita malah rugi besar!" umpat para pencuri dengan rasa dongkol.

oo000oo




Tipu Dibalas Tipu

Ada seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya.

Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melaku­kan salat Dhuha. Setelah dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil berbincang-bincang santai.

Seusai salat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya bercakap-cakap sejenak.

"Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami." kata Ahli Yoga.

"Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?" tanya Abu Nawas polos.

"Besok pagi." kata Pendeta.

"Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok." kata Abu Nawas menyanggupi.

Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing. Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal.

"Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian." kata Pendeta. Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengumpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas mem­beli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan. Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata,

"Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga." "Jangan sekarang. Kami sedang berpuasa." kata Ahli Yoga.

"Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian." kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.

"Aku tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun:" kata Pendeta.

"Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi.

Besok pagi aku baru akan berbuka." kata Ahli Yoga.

"Bukankah aku yang engkau jadikan alat pencari derma Dan derma itu sekarang telah kutukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengijinkan aku mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal." kata Abu Nawas mulai mera jengkel. Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak mengijinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menja haknya.

Abu Nawas penasaran. la mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak. Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tid memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.

"Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian." kata Pendeta kepada Abu Nawas.

"Perjanjian apa?" tanya Abu Nawas.

"Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit." Pendeta itu menjelaskan.

Abu Nawas setuju. la tidak memberi komentar apa-apa.

IVfalam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. la hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu hinggatidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur.

Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita,

"Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirvana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini."

Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul-betul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya.

"Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan temyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya."

Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pen­deta, Abu Nawas hanya diam. la bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun.

Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pen­deta dai Ahli Yoga mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.

"Kalian tentu tahu Nabi Daud alaihissalam. Beliau adalah seorang nabi yang ahli berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu." kata Abu Nawas tanpa perasaa bersalah secuil pun.

Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain.
Kejengkelan Abu Nawas terobati.

Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya akan mendapat celaka sendiri.

oo000oo






Tidak ada komentar:

Posting Komentar